Langsung ke konten utama

NOODWEER dalam Putusan No.1002/Pid.B/2008/ PN Semarang


Beberapa hal yang dapat dipelajari dari NOODWEER dalam Putusan No.: 1002/Pid.B/2008/PN. Smg, antara lain;

1. Tanggapan PU atas pembelaan PH yang pada pokoknya tetap pada tuntutannya semula.
2. Keberatan/Eksepsi vs Tanggapan 
3. Putusan Sela
4. Keterangan saksi-saksi dibawah dan tanpa Sumpah
5. Visum et Repertum
6. Saksi yang Meringankan & Memberatkan
7. Keterangan Terdakwa
8. Barang Bukti
9. Fakta-Fakta Yuridis, berupa :
1 Dakwaan Alternatif
2. Perspektif Penganiayaan (vide H.R. 25 Juni 1894, W. 6334; 11 Januari 1892, W.6138) dengan unsur KESENGAAAN (disarikan dari Varia Peradilan No12 Tahun 1998, IKAHI, Jakarta, Halaman 86)
3. Pemaknaan Penganiayaan dengan Kekerasan
4. Pemaknaan Penganiayaan dengan NOODWEER
5. Perbedaan Kesaksian

Beberapa poin dalam Kesaksian, yaitu;
1. Apakah Saksi maupun Terdakwa memberikan keterangan yang benar sesuai dengan yang ditentukan dalam KUHAP, maupun menurut iman dan kepercayaannya?
2. Apakah sudah memenuhi arti hakikat bersaksi dalam menegakkan keadilan? Dimana, tiada lain adalah agar keadilan itu sungguh-sungguh dapat ditegakkan dan dipertanggung jawabkan kepada Tuhan, seperti ditetapkan dalam Pasal 4 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman ?
3. Bagaimana Tugas dan kewajiban Majelis Hakim untuk menilai kebenaran keterangan para saksi? Apakah Majelis Hakim memperhatikan secara sungguh-sungguh persesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain, persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain, alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu, dan cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dan dapat tidaknya keterangan itu dipercaya, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 185 KUHAP
4. Keabsahan Kesaksian?

Beberapa Pertimbangan Hakim yang menarik bagi Penulis, meliputi ;
1. “Sehingga tindakan yang dilakukan masuk dalam konteks noodweer-bela paksa, sebab sekalipun perbuatannya memenuhi rumusan dan unsur-unsur tindak pidana, dalam dirinya sendiri tidak dapat dianggap suatu tindakan yang layak dikenai pidana

2. “Dengan demikian motivasi pelaku tindak pidana sepanjang sifatnya fungsional perlu digali, sehingga dapat diungkapkan latar belakang dan motivasi perbuatan pelaku tindak pidana demi tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan. Oleh karena itulah Majelis Hakim dalam mengakkan hukum harus memperhatikan masalah sosial kemasyarakatan yang kongkrit, karena disadari Undang-Undang hanyalah merupakan acuan untuk pemecahan masalah dan bukan merupakan satu-satunya sumber hukum. Majelis Hakim tidak mencari hasil dari mendeduksi dengan menggunakan logika dari Undang-Undang yang bersifat umum dan abstrak, akan tetapi dari perbuatan, dan harus mempertimbangkan semua kepentingan dari nilai-nilai dalam sengketa (Perhatikan putusan Mahkamah Agung RI No. 395 K/Pid/1995 tanggal 29 September 1995)

3. “.............. walaupun dalam peristiwa tindak pidana ini perbuatan Terdakwa, jelas telah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Namum, memperhatikan jalannya peristiwa tindak pidana ini terutama memperhatikan keterangan Terdakwa yang dikuatkan oleh para saksi yang meringankannya tidaklah tepat dan adil kalaulah perbuatan Terdakwa dimaksud dikategorikan sebagai suatu tindak pidana dan Terdakwa harus dijatuhi pidana, karena berdasarkan keterangan Terdakwa dan keseluruhan saksi-saksi dan barang bukti dalam perkara ini, telah nyata bahwa Terdakwa sesungguhnya merupakan korban dari suatu tindak pidana yang telah dialaminya. Dengan demikian, perbuatan yang dilakukannya semata-mata didasarkan pada upayanya untuk mempertahankan keselamatan diri dan keluarganya, sebab dalam KUHP sesungguhnya telah mengatur bahwa seseorang bisa saja telah memenuhi unsur-unsur dalam rumusan suatu tindak pidana, namum tidak dikenai pidana apapun. Didalamnya, tercakup pengakuan bahwa tindak pidana dapat dilakukan dalam situasi dan kondisi tertentu sedemikian rupa sehingga pidana tidak perlu dijatuhkan. Dasar-dasar yang meniadakan pidana terhadap diri Terdakwa sesuai dengan ketentuan yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 49 KUHP noodweer- bela paksa

4. “Istilah bela paksa, sekalipun disebut dalam sejarah perundang-undangan (MvT), namum tidak kita temukan didalam perundang-undangannya sendiri. Tetapi kenyataan bahwa istilah ini terkait dalam ketentuan Pasal 49 KUHP tampak jelas dalam ketentuan pasal tersebut : ”Siapa yang dengan terpaksa melakukan suatu tindakan (pembelaan diri) demi mempertahankan nyawa diri sendiri atau orang lain, kehormatan atau kebendaan terhadap suatu perbuatan melawan hukum yang tertuju kepadanya, tidak dapat dipidana”. Ketentuan ini merupakan suatu prinsip yang bersifat universal bahwa negara tidak layak menuntut warga negaranya untuk pasrah membiarkan ketidakadilan menimpa mereka, Ketidakadilan tidak perlu mengalahkan hukum. (Bandingkan dengan Pasal 51 Piagam PBB)

5. “.... walaupun Terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, akan tetapi perbuatan itu tidak dapat dituntut karena didasarkan pada adanya suatu noodweer / bela paksa, sehingga dengan demikian Terdakwa haruslah dilepaskan dari segala tuntutan hukum”.

SEHINGGA
M E N G A D I L I
1. Menyatakan Terdakwa xxx telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan Tindak Pidana yang didakwakan kepadanya, akan tetapi tidak dapat dijatuhi pidana karena didasarkan pada bela paksa (noodweer) ;
2. Melepaskan Terdakwa tersebut oleh karena itu dari segala tuntutan hukum ;
3. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan (rehabilitasi), kedudukan dan harkat serta martabatnya ;
4. Memerintahkan Terdakwa dikeluarkan dari tahanan di Rumah Tahanan Negara segera setelah putusan ini diucapkan ;
5. Memerintahkan barang bukti berupa :
- 11 (sebelas) senjata tajam berbagai bentuk dirampas untuk dimusnahkan ;
- 1 (satu) lembar baju kaos switer dikembalikan kepada ahli waris korban M. Darmadi yaitu saksi Susi Setiasih ;
6. Membebankan biaya perkara ini kepada Negara sejumlah : NIHIL ;

Demikianlah diputuskan .............. dst.

REFERENSI



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perspektif Viktimologi R.I. Mawby & S. Walklate

Bab 1: Perspektif tentang Victimologi Narasi viktimologis merupakan disiplin yang relatif muda, dengan gerakan korban yang membuat kehadiran semakin terasa pada kebijakan peradilan pidana Inggris dan Wales sampai batas tertentu, di seluruh Eropa. Keadaan sosial yang mempengaruhi proyek khusus ini, kemudian, tidak hanya berasal dari peristiwa politik dan sosial tahun 1980-an di Inggris dan Wales, tetapi juga dari perubahan cepat ke peta politik Eropa, baik Timur dan Barat, yang terjadi pada akhir 1980-an dan awal 1990-an. Perubahan-perubahan ini telah menyebabkan evaluasi ulang teori dan praksis di seluruh Eropa Timur-Barat. Ini mungkin terbukti sama pentingnya dalam konteks memahami operasi dan proses berbagai peradilan pidana dan sistem kesejahteraan seperti di arena politik yang lebih terbuka. Perkembangan ini memberikan peluang untuk mengevaluasi kontribusi potensial dari berbagai alur pemikiran viktimologis, menuju pemahaman dan mempengaruhi arah perubahan ini. Mengingat bany...

CLS, Critical Legal Studies atau Studi Hukum Kritis

TEORI STUDI HUKUM KRITIS ( CRITICAL LEGAL STUDIES , CLS) Latar belakang Studi Hukum Kritis ( Critical Legal Studies , CLS)   Akhir abad ke-20, Studi Hukum Kritis atau Critical Legal Studies , CLS datang dengan melawan gagasan liberalisme dan pluralisme hukum. Dalam Frontiers Legal Theory menyebutkan perkembangan Critical and Postmodern Legal Studies muncul sekitar 1970-an di Amerika dengan tokoh (sarjanawan) yang terinspirasi gerakan pemikiran kontinental ( continental social theory ) seperti Marxist, Structuralist, dan Post-structuralis yang kemudian membentuk gerakan yang disebut Gerakan Studi Hukum Kritis_ ( Critical Legal Studies , CLS). Keberadaan CLS diasumsikan terpengaruh Teori Kritis ( Critical Theory ) dari Mahzab Frankfurt yang dipelopori oleh Institute for Social Research di Frankfurt University. Mahzab Frankfurt membawa terminologi ‘teori kritis’ dengan haluan ajaran Karl Marx (Marxism)._ Melalui karya Mahzab Frankfurt dari 1930 sampai 1940-an hing...

SOMASI untuk Korban dalam Hukum Pidana

Apa itu Somasi? Menurut KBBI, Somasi adalah teguran untuk membayar dan sebagainya ( https://kbbi.web.id/somasi ). Menurut Wikipedia, Somasi adalah sebuah teguran terhadap pihak calon tergugat pada proses hukum. Bentuk –bentuk somasi dapat berupa surat perintah, akta sejenisnya, dan demi perikatan sendirinya (lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Somasi ). Jika merujuk pada bahan Wikipedia, maka kerangka tafsir Somasi merujuk pada kerangka keperdataan (lihat rujukannya). Pada sisi yang lain, terdapat poin penting, yaitu; 1. sebuah teguran                                             2. diberikan kepada pihak lain Menurut J. Satrio, Topik somasi mestinya menarik untuk disimak, sebab sekalipun somasi memegang peranan yang sangat besar (penting) dalam pelaksanaan huku...