Langsung ke konten utama

Eksaminasi Putusan ?

Apa itu Eksaminasi? begitu asing bagi saya dengan kata tersebut. Bahkan saya baru mendengar kata tersebut saat membaca sebuah koran.

Istilah Eksaminasi berasal dari bahasa Inggris Examination yang berarti Ujian atau Pemeriksaan. Eksaminasi sering disebut sebagai Legal Annotationyaitu pemberian catatan-catatan hukum terhadap putusan pengadilan maupun dakwaan jaksa. Eksaminasi bukanlah hal baru dalam dunia peradilan. Pernah pada tahun 1967, Mahkamah Agungmengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 tahun 1967 yang memerintahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk melakukan Eksaminasi terhadap perkara yang telah diputus oleh hakim-hakim di dalam lingkungannya (Soerjadisebagai ketua). 

Eksaminasi sangat di butuhkan dalam era globalisasi yang meng-Tuhan-kan uang diatas segalanya. Pengadilan jaman sekarang tidak berimbang, tidak sesuai timbangan dewi keadilan yang rata. Segala hal yang berbau hukum menjadi tak berimbang. Bila perkara berkaitan dengan orang yang memiliki cukup banyak ‘money’ maka bisa melakukan ‘cash’ terhadap ‘case’. Diperparah lagi bila publik yang awam akan hukum tidak diberikan pengetahuan atau penyampaian mengenai hukum. Semisal tidak adanya info hasil keputusan, keterangan-alasan-dasar hukum dari keputusan, kurang ketatnya pengawasan dan kontrol kekuasaan kehakiman. Untuk itu perlu melakukan pelibatan publik terutama orang awam akan hukum.

Pemberlakuan eksaminasi terhadap putusan suatu perkara sudah tepat. Lahirnya eksaminasi karena adanya kontroversi dari putusan. Entah putusan tersebut dianggap berat apalagi ringan. Terus, jika sudah ada pemberlakuan maka siapa yang melakuan pengawalan dan pengawasan? Tentunya Komisi Yudisial sebagai pengawas Kehakiman. Mahasiswa terutama yang berlatar hukum juga harus berpartisipasi dalam pengawalan dan pengawasan keputusan karena mahasiswa adalah social control. Apakah putusan tersebut sudah sesuai atau bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum, prosedur hukum acara hingga moral justice dan social justice. 

Putusan yang telah dieksaminasi dan dinyatakan putusannya ditolak, apakah bisa dilakukan Peninjauan Kembali (PK)? Pro dan Kontra terhadap sebuah putusan PK pada sebuah perkara dapat saja terjadi di dalam maupun diluar Mahkamah Agung. Putusan PK bilamana telah melanggar hukum acara maka bisa batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada (never existed). Terdakwa dapat mengajukan PK sesuai prosedur dan mekanisme yang telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Salah satunya hadir di dalam persidangan sesuai dengan ketentuan Pasal 263 KUHAP ;
(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
(2) Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:
- apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan, 
b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhiIafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
(3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. 

Kontra bilamana didalam perkara tersebut terdapat kejanggalan. Semisal dalam sebuah kasus, ada sebuah barang yang disita oleh pihak Kejaksaan Agung tetapi setelah adanya putusan hakim bukan pada saat hasil Eksaminasi telah dikeluarkan atau telah memiliki hasil. Apalagi bila Peninjauan kembal tersebut melanggar salahsatu Pasal dalam KUHAP. seperti Pasal 268 KUHAP ;
1) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.
2) Apabila suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima oleh Mahkamah Agung dan sementara itu pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan kembali tersebut diserahkan kepada kehendak ahli warisnya.
3) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja.

Berdasarkan Pasal tersebut, maka PK yang telah disebutkan sebagai upaya hukum yang bisa diajukan terpidana atau ahli warisnya. Adapun mengenai ahli waris, hanya dapat digunakan saat terpidana telah meninggal. Dalam Pasal 263 ayat (1) serta Pasal 265 KUHAP;  

  1. Ketua pengadilan setelah menerima permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang dimintakan peninjauan kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2).
  2. Dalam pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1), pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya. Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon dan panitera dan berdasarkan berita acara itu dibuat berita acara pendapat yang ditandatangani oleh hakim dan panitera.
  3. Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan peninjauan kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah Agung yang tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan jaksa 
  4. Dalam hal suatu perkara yang dimintakan peninjauan kembali adalah putusan pengadilan banding, maka tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri tembusan berita acara pemeriksaan serta berita acara pendapat dan disampaikan kepada pengadilan banding yang bersangkutan.

secara mutlak (imperative) menyatakan terdakwa/terpidana, jaksa dan hakim harus bersama-sama menandatangan berita acara pemeriksaan (BAP). Jadi kehadiran terdakwa/terpidana adalah sebuah keharusan. Adapun mengenai seorang istri dari terpidana yang mengajukan PK boleh-boleh saja selama terpidana/terdakwa tersebut dalam kondisi sakit atau telah meninggal dunia. Kalau mengenai buron, arti buron adalah yang bersangkutan melawan putusan hakim. Bila di Negara contempt of court, ada aturan mengenai hal ini. Tetapi di Indonesia belum memiliki aturan tersebut. Jadi, majelis PK harus memikirkan tindakan pemohon PK yang telah melecehkan hakim. Eksaminasi yang dilakukan yaitu pada materi hukum acara apakah sesuai dengan Pasal 263 dan 268 KUHAP atau tidak.

Sekian.

And Justice for all

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perspektif Viktimologi R.I. Mawby & S. Walklate

Bab 1: Perspektif tentang Victimologi Narasi viktimologis merupakan disiplin yang relatif muda, dengan gerakan korban yang membuat kehadiran semakin terasa pada kebijakan peradilan pidana Inggris dan Wales sampai batas tertentu, di seluruh Eropa. Keadaan sosial yang mempengaruhi proyek khusus ini, kemudian, tidak hanya berasal dari peristiwa politik dan sosial tahun 1980-an di Inggris dan Wales, tetapi juga dari perubahan cepat ke peta politik Eropa, baik Timur dan Barat, yang terjadi pada akhir 1980-an dan awal 1990-an. Perubahan-perubahan ini telah menyebabkan evaluasi ulang teori dan praksis di seluruh Eropa Timur-Barat. Ini mungkin terbukti sama pentingnya dalam konteks memahami operasi dan proses berbagai peradilan pidana dan sistem kesejahteraan seperti di arena politik yang lebih terbuka. Perkembangan ini memberikan peluang untuk mengevaluasi kontribusi potensial dari berbagai alur pemikiran viktimologis, menuju pemahaman dan mempengaruhi arah perubahan ini. Mengingat bany...

CLS, Critical Legal Studies atau Studi Hukum Kritis

TEORI STUDI HUKUM KRITIS ( CRITICAL LEGAL STUDIES , CLS) Latar belakang Studi Hukum Kritis ( Critical Legal Studies , CLS)   Akhir abad ke-20, Studi Hukum Kritis atau Critical Legal Studies , CLS datang dengan melawan gagasan liberalisme dan pluralisme hukum. Dalam Frontiers Legal Theory menyebutkan perkembangan Critical and Postmodern Legal Studies muncul sekitar 1970-an di Amerika dengan tokoh (sarjanawan) yang terinspirasi gerakan pemikiran kontinental ( continental social theory ) seperti Marxist, Structuralist, dan Post-structuralis yang kemudian membentuk gerakan yang disebut Gerakan Studi Hukum Kritis_ ( Critical Legal Studies , CLS). Keberadaan CLS diasumsikan terpengaruh Teori Kritis ( Critical Theory ) dari Mahzab Frankfurt yang dipelopori oleh Institute for Social Research di Frankfurt University. Mahzab Frankfurt membawa terminologi ‘teori kritis’ dengan haluan ajaran Karl Marx (Marxism)._ Melalui karya Mahzab Frankfurt dari 1930 sampai 1940-an hing...

SOMASI untuk Korban dalam Hukum Pidana

Apa itu Somasi? Menurut KBBI, Somasi adalah teguran untuk membayar dan sebagainya ( https://kbbi.web.id/somasi ). Menurut Wikipedia, Somasi adalah sebuah teguran terhadap pihak calon tergugat pada proses hukum. Bentuk –bentuk somasi dapat berupa surat perintah, akta sejenisnya, dan demi perikatan sendirinya (lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Somasi ). Jika merujuk pada bahan Wikipedia, maka kerangka tafsir Somasi merujuk pada kerangka keperdataan (lihat rujukannya). Pada sisi yang lain, terdapat poin penting, yaitu; 1. sebuah teguran                                             2. diberikan kepada pihak lain Menurut J. Satrio, Topik somasi mestinya menarik untuk disimak, sebab sekalipun somasi memegang peranan yang sangat besar (penting) dalam pelaksanaan huku...