Langsung ke konten utama

Pendekatan Viktimologi karya William G. Doerner & Steven P. Lab


Pendekatan Baru: Victimologi Umum
Kurangnya kemajuan teoretis membawa kekhawatiran nyata dari beberapa pihak bahwa viktimologi “macet” di sebuah ruang akademik belaka (Bruinsma & Fiselier, 1982; Levine, 1978). Menanggapi situasi ini, Benjamin Mendelsohn menyerukan viktimologi untuk pindah dari, sebelumnya sebagai sub-kriminologi menuju disiplin tersendiri: independen. Mendelsohn berusaha untuk meyakinkan indenpendensi viktimologi dari kriminologi melalui term “general victimology: viktimologi umum”.
Menurut Mendelsohn (1982: 59), viktimologis bertujuan untuk "menyelidiki penyebab viktimisasi dalam mencari solusi yang efektif". Karena manusia menderita dari banyaknya faktor penyebab, fokus pada viktiminalisasi kriminal adalah perspektif yang terlalu sempit. Istilah yang lebih global, seperti viktimologi umum, diperlukan untuk menyampaikan makna sebenarnya dari bidang tersebut.
Menurut Mendelsohn (1976), viktimologi umum menggolongkan lima jenis korban. Mereka termasuk korban dari:
      kejahatan
      diri sendiri
      lingkungan sosial
      teknologi
      lingkungan alam.
Kategori pertama, korban kejahatan cukup jelas. Ini merujuk pada materi pelajaran tradisional yang sudah biasa digunakan oleh para viktimologis. Korban diri sendiri termasuk bunuh diri, serta penderitaan lainnya yang disebabkan oleh korban sendiri. Korban lingkungan sosial mencakup penindasan individu, kelas, atau kelompok. Beberapa contoh umum akan mencakup diskriminasi ras, hubungan kasta, genosida, dan kekejaman perang. Korban teknologi adalah orang – orang yang menjadi korban ketergantungan masyarakat pada inovasi ilmiah. Kecelakaan nuklir, obat-obatan yang diuji secara tidak benar, polusi industri, dan kecelakaan transportasi. Terakhir, korban lingkungan alam akan merangkul orang-orang yang terkena dampak peristiwa seperti banjir, gempa bumi, angin topan, dan kelaparan.
Sejalan dengan formulasi Mendelsohn, Smith dan Weis (1976) mengusulkan tinjauan luas dari bidang-bidang yang dicakup oleh viktimologi umum. Ada empat bidang utama yang menjadi perhatian,  yaitu; 
A. Studi Penciptaan definisi korban oleh
1. proses hukum                              2. proses sehari-hari                3. proses ilmiah

B. Studi Aplikasi definisi ini oleh
1. agen kontrol                              2. orang lain yang signifikan     3. komunitas
4. perilaku & sosial-sains               5. korbannya sendiri

C. Studi tentang reaksi Korban: Perilaku pasca-viktimisasi
1. mencari bantuan                         2. Keluhan                 3. reaksi terhadap respons orang lain

D. Studi tentang respons masyarakat: Sistem untuk menangani korban
1. intervensi krisis            2. pelayanan sosial          3. polisi
4. pencegahan                  5. Medis                               6. pengadilan sipil

Jika dilihat dalam konteks ini, viktimologi umum menjadi “frasa” yang sangat luas dengan implikasi yang luas. Seperti yang Mendelsohn (1976: 21) jelaskan:
sama seperti obat-obatan yang mengobati semua pasien dan semua penyakit, seperti halnya kriminologi menyangkut dirinya sendiri dengan semua penjahat dan semua bentuk kejahatan, demikian juga viktimologi harus memperhatikan dirinya sendiri dengan semua korban dan semua aspek korban.

Viktimologi Kritis
Salah satu tren dalam viktimologi sejak 1990-an adalah seruan untuk mengalihkan fokus dari pendekatan yang lebih umum yang diuraikan dalam bagian sebelumnya menjadi apa yang oleh sebagian orang disebut viktimologi kritis. Pendukung ini bergerak mempertahankan bahwa viktimologi gagal untuk mempertanyakan dasar-dasar apa itu kejahatan, mengabaikan pertanyaan mengapa tindakan tertentu dikenai sanksi, dan akibatnya, telah berkembang ke arah yang salah. Mawby dan Walklate (1994: 21) mendefinisikan viktimologi kritis sebagai:
upaya untuk memeriksa konteks sosial yang lebih luas di mana beberapa versi viktimologi telah menjadi lebih dominan daripada yang lain dan juga untuk memahami bagaimana versi viktimologi tersebut terkait dengan pertanyaan tentang respons kebijakan dan pemberian layanan kepada para korban kejahatan.
Inti dari viktimologi kritis  adalah bagaimana masalah dan mengapa tindakan tertentu didefinisikan sebagai tindak pidana dan, sebagai hasilnya, bagaimana seluruh bidang viktimologi menjadi terfokus pada satu set tindakan alih-alih yang lain. Gagasan ini tidak sepenuhnya berbeda dari kategori korban Mendelsohn dari lingkungan sosial. Mawby dan Walklate (1994) menunjukkan bahwa banyak kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berkuasa di masyarakat tidak dikenakan hukum pidana.
Beberapa penulis menunjuk pada pengabaian perhatian kriminologis terhadap genosida (Day & Vandiver, 2000; Friedrichs, 2000; Yacoubian, 2000), kejahatan perang (Hoffman, 2000), pelanggaran hukum kampanye politik (Levine, 1997; Liddick, 2000; Taylor, 2000), penjualan senjata klandestin dan senjata pemusnah massal (Berryman, 2000; Phythian, 2000; Whitby, 2001), penyelundupan (Beare, 2002; Bruinsma & Bernasco, 2004; Naylor, 2004; van Duyne, 2003), perdagangan orang (Mameli, 2002; Schloenhardt, 1999; Shelley, 2003; Taylor & Jamieson, 1999), deportasi (Chan, 2005), dan penipuan investasi dan konsumen (Holtfreter, 2004; Holtfreter, van Slyke, & Blomberg, 2005; Naylor, 2007; Pontell, 2005) sebagai bukti sifat lapangan yang terlalu konservatif. Konsekuensinya, para korban kejahatan tersebut tidak masuk ke dalam tipikal diskusi tentang keprihatinan viktimologikal.
Menurut viktimologi kritis, sebagian besar inisiatif yang berorientasi pada korban cenderung untuk melanggengkan definisi kejahatan yang ada dengan gagal mempertanyakan faktor – faktor sosial yang mendukung yang memunculkan tindakan dan tanggapan (Elias, 1990). Alasan kegagalan ini beragam, salah satu yang berkontribusi adalah ketergantungan pada definisi resmi dan data dalam sebagian besar analisis masalah korban. Ini pasti mengarah pada solusi yang tidak mempertanyakan latar sosial yang mendasarinya. Faktor lain adalah kemampuan lembaga yang ada untuk mengkooptasi dan memasukkan gerakan yang muncul (seperti hak anak) ke dalam sistem kontrol sosial yang ada. Argumen yang lebih radikal berpendapat bahwa kontrol peradilan pidana dan viktimologi berada di tangan segelintir orang kuat yang akan memandang pendekatan kritis sebagai ancaman terhadap status quo.
Meskipun viktimologi kritis menawarkan sudut pandang yang menarik dan membawa banyak potensi untuk viktimologi, memperdebatkannya dilakukan diluar cakupan pembahasan ini. Namun, isu – isu yang relevan dengan pendekatan kritis yang berusaha di bahas, contohnya diskusi sosiokultural tentang mengapa kekerasan terjadi dan hambatan investasi terhadap program korban. Pemeriksaan yang lebih dalam dan lebih intens tentang viktimologi kritis akan diserahkan ke forum lain.

Gerakan Korban
Sementara para akademisi memperdebatkan argumen presipitasi: timbulnya korban, para praktisi telah menunjuk korban sebagai seseorang yang pantas mendapatkan bantuan dari masyarakat dan sistem peradilan pidana. Hingga taraf tertentu, keprihatinan akar rumput ini atas kesejahteraan korban adalah reaksi terhadap tuduhan keterlibatan korban dalam pelanggaran. Beberapa gerakan yang berbeda terjadi secara simultan dan berkontribusi pada minat baru pada nasib korban. Di antara mereka adalah: (1) gerakan perempuan; (2) upaya untuk menetapkan hak-hak anak; (3) keprihatinan atas masalah kejahatan yang berkembang; (4) advokasi kompensasi korban; (5) reformasi hukum; dan (6) beberapa faktor lain.
Gerakan Perempuan. Gerakan perempuan, terutama pada pertengahan hingga akhir 1960-an, termasuk komponen besar yang berurusan dengan para korban. Argumen yang menyalahkan korban sering kali berhubungan dengan pemerkosaan dan kekerasan seksual. Korban perempuan menemukan dirinya dan gaya hidupnya diadili setiap kali pelaku ditangkap. Para reformis mengeluh bahwa sistem tersebut menangani korban kekerasan seksual seolah-olah mereka sendiri yang menjadi pelaku. Para advokat didorong untuk mendapatkan perlakuan yang sama. Mereka menemukan bahwa tindakan sistem peradilan pidana menjadi amunisi yang kuat untuk argumen mereka. Selain sekadar menyerukan perubahan dalam sistem peradilan formal, gerakan perempuan menghasilkan banyak keuntungan. Daftar singkat akan mencakup pengembangan rape crisis center atau pusat pemerkosaan, shelters for battered women atau tempat bagi wanita yang dianiaya, konseling untuk wanita yang dilecehkan dan anak-anak mereka, dan bentuk bantuan lainnya. Sebagai perempuan yang menuntut kesetaraan dalam masyarakat, mereka dipekerjakan untuk mengatasi banyak kerugian dari sistem peradilan pidana.
Hak anak-anak. Kekhawatiran yang berkembang tentang kebutuhan dan hak – hak remaja, selama tahun 1960-an. Banyak penulis menunjuk pada pertengahan 1960-an sebagai waktu ketika pelecehan anak ditemukan. "Pada saat itulah masyarakat memutuskan untuk mendefinisikan pelecehan terhadap anak-anak sebagai masalah sosial. Namun, itu tidak berarti bahwa pelecehan anak adalah fenomena baru. Pelecehan anak adalah praktik kuno dan, menurut banyak hal, mungkin jauh lebih buruk di masa lalu daripada hari ini. Namun, perbedaan pada 1960-an adalah bahwa banyak tindakan fisik dan psikologis yang digunakan dengan anak-anak mulai dipertanyakan dan dilabeli sebagai penyalahgunaan. Negara – negara memberlakukan undang – undang yang menguraikan batas-batas di mana seorang anak dapat didisiplinkan secara fisik. ”Biro khusus anak-anak dalam lembaga peradilan pidana didirikan atau diperluas untuk menghadapi pengakuan yang semakin meningkat atas perlakuan buruk terhadap anak. Tempat perlindungan dibuat untuk menampung anak – anak dari situasi pelecehan.
Pelarian (baik dari keluarga maupun institusi: sekolah) juga mendapatkan publisitas sebagai masalah serius pada akhir 1960-an. Pemberontakan secara umum oleh kaum muda di Amerika Serikat menarik banyak remaja untuk mencari kebebasan. Konsekuensinya, tempat “pelarian” muncul di sebagian besar kota – kota besar dengan tujuan membantu para pemuda daripada mengembalikan mereka ke rumah mereka. Anak – anak muncul sebagai kelas baru – keduanya dari kesewenang-wenangan yag terjadi di rumah dan masyarakat pada umumnya.
Masalah Kejahatan yang Berkembang. Tingkat kejahatan di Amerika Serikat mulai mencatat langkah raksasa pada 1960-an dan sepanjang 1970-an. Menurut data Uniform Crime Reports (UCR), kejahatan di Amerika Serikat meningkat lebih dari dua kali lipat dari tahun 1960 hingga 1980. Seiring dengan keprihatinan atas Perang Vietnam, kejahatan adalah masalah yang paling penting saat itu. Pemilihan Presiden: Pilpres dan lokal eleksion: Pilkada, menargetkan masalah hukum dan ketertiban sebagai perhatian utama. Dalam upaya mengidentifikasi penyebab meningkatnya masalah dan kemungkinan solusi, Presiden Johnson menunjuk komisi untuk memeriksa kejahatan dan sistem peradilan pidana. Masalah – masalah korban menjadi fokus utama Komisi Presiden 1967 tentang Penegakan Hukum dan Administrasi Keadilan. Di antara komponen korban dari laporan komisi (1967) adalah dimulainya survei viktimisasi secara sistematis, saran untuk meringankan penderitaan dan  kerugian korban, ide – ide untuk program masyarakat yang bertujuan menyediakan layanan korban, dan panggilan untuk pelibatan korban lebih lanjut dalam sistem keadilan kriminal. Sekitar 15 tahun setelah laporan ini disiarkan, gugus tugas nasional lain menyimpulkan bahwa para korban masih memiliki kebutuhan substansial yang tidak terpenuhi. Banyak masalah yang diidentifikasi mirip dengan yang dicatat oleh komisi sebelumnya.
Kompensasi Korban. Satu saran yang dibuat oleh Komisi Presiden (1967) adalah pembentukan metode untuk mengkompensasi korban kejahatan atas kerugian mereka. Di antara teknik – teknik ini adalah restitusi dan kompensasi korban. Namun, tidak satu pun dari ide – ide ini yang berasal dari komisi. Seperti yang disebutkan sebelumnya dalam bab ini, restitusi adalah metode umum untuk menangani kejahatan sepanjang sebagian besar sejarah. Kompensasi korban (pembayaran negara yang dilakukan kepada korban kejahatan) pertama kali diperkenalkan di Inggris oleh Margery Fry pada tahun 1957. Meskipun upaya awal itu gagal, kompensasi korban dengan cepat menjadi masalah utama di seluruh dunia.
Selandia Baru mengesahkan undang-undang kompensasi pertama pada tahun 1963, diikuti oleh Inggris pada tahun 1964. Di Amerika Serikat, California menetapkan kompensasi korban pada tahun 1965, New York pada tahun 1966, Hawaii pada tahun 1967, dan Massachusetts pada tahun 1968. Pemerintah federal memberlakukan undang – undang pada tahun 1984 yang menguraikan kompensasi dalam kasus di mana kejahatan federal dilakukan. Undang – undang ini juga memberikan bantuan moneter kepada negara-negara dengan program kompensasi. Pada tahun 1989, 15 negara telah memberlakukan undang – undang kompensasi. Negara – negara lain, seperti Australia dan Finlandia. juga telah membentuk program kompensasi. Sementara setiap program mungkin berbeda dalam hal – hal khusus, premis dasar untuk membantu para korban kejahatan tetap sama.
Reformasi Hukum. Selain pembentukan undang – undang tentang kompensasi, berbagai reformasi hukum yang bertujuan melindungi dan membantu para korban kejahatan telah muncul sejak tahun 1960-an. Di antara perubahan yang telah muncul adalah undang – undang yang melindungi latar belakang dan karakter korban perkosaan dalam proses pengadilan. Undang – undang yang baru dirancang untuk melindungi suami – istri yang teraniaya dan anak-anak mereka. Undang – undang yang mewajibkan dokter dan guru untuk melaporkan kasus dugaan pelecehan anak merupakan inisiatif yang berani. Pedoman yang memberi tahu korban tentang proses pengadilan dan sistem hukum, serta ketentuan yang memungkinkan pernyataan dampak korban dalam putusan hakim dan keputusan pembebasan bersyarat, mulai muncul. Dalam beberapa kesempatan, negara – negara mengesahkan "Bill of Rights of Victims”. Ketentuan – ketentuan ini menguraikan hak – hak korban dengan cara yang mirip dengan yang muncul dalam Bill Righis A.S., yang berfokus pada perlindungan bagi tertuduh. 
Faktor lain. Faktor lain telah memainkan peran langsung atau tidak langsung dalam menekankan masalah – masalah korban. Salah satu sumber pengaruh tersebut adalah media massa. Tidak pernah terlewatkan "kejahatan minggu ini" tidak muncul dalam berita  khusus atau sebagai bagian dari serial yang sedang berlangsung. Acara – acara seperti "America's Most Wanted" menggambarkan bahwa tidak hanya pelaku tetapi juga kerugian bagi korban, sering diandalkan dalam wawancara dengan korban atau keluarga korban. Perhatian media dan minat terhadap korban secara alami memengaruhi pemirsa.
Faktor lain yang tidak dapat diabaikan adalah meningkatnya minat korban di kalangan akademisi. Empat dekade lalu, hampir tidak ada buku yang khusus berfokus pada korban. Publikasi Schafer's (1968) The Victim and His Criminal menandai era meningkatnya minat dalam viktimologi. Banyak teks telah muncul sejak itu. Mulai dari topik umum korban hingga diskusi spesifik tentang kompensasi, kekerasan pasangan intim, pelecehan anak, layanan korban, dan bidang minat lainnya. Simposium Internasional tentang Victimologi pertama diadakan di Yerusalem pada tahun 1973. Dari dulu. ada beberapa pertemuan di seluruh dunia dan jumlah negara nasional yang tak terhitung jumlahnya, dan pertemuan lokal para akademisi dan profesional yang bekerja dengan para korban kejahatan. Upaya – upaya ini memuncak dalam pembentukan American Society of Victimology pada tahun 2003. Percepatan dalam kursus – kursus perguruan tinggi yang dikhususkan untuk masalah korban korban atau topik topikal sangat menggembirakan. Beberapa kampus “mengkhususkan dirinya” membahas viktimologi atau topik korban sebagai penyemangat. Salah satunya California State University – Fresno, Same Houston State University, University of New Haven) sekarang menawarkan program khusus dalam layanan korban, berbagai jurnal khusus yang ditujukan untuk masalah-masalah korban kini ada. Singkatnya, gerakan korban telah membuat langkah dalam periode yang relatif singkat dan terus mendapatkan momentum.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perspektif Viktimologi R.I. Mawby & S. Walklate

Bab 1: Perspektif tentang Victimologi Narasi viktimologis merupakan disiplin yang relatif muda, dengan gerakan korban yang membuat kehadiran semakin terasa pada kebijakan peradilan pidana Inggris dan Wales sampai batas tertentu, di seluruh Eropa. Keadaan sosial yang mempengaruhi proyek khusus ini, kemudian, tidak hanya berasal dari peristiwa politik dan sosial tahun 1980-an di Inggris dan Wales, tetapi juga dari perubahan cepat ke peta politik Eropa, baik Timur dan Barat, yang terjadi pada akhir 1980-an dan awal 1990-an. Perubahan-perubahan ini telah menyebabkan evaluasi ulang teori dan praksis di seluruh Eropa Timur-Barat. Ini mungkin terbukti sama pentingnya dalam konteks memahami operasi dan proses berbagai peradilan pidana dan sistem kesejahteraan seperti di arena politik yang lebih terbuka. Perkembangan ini memberikan peluang untuk mengevaluasi kontribusi potensial dari berbagai alur pemikiran viktimologis, menuju pemahaman dan mempengaruhi arah perubahan ini. Mengingat bany...

CLS, Critical Legal Studies atau Studi Hukum Kritis

TEORI STUDI HUKUM KRITIS ( CRITICAL LEGAL STUDIES , CLS) Latar belakang Studi Hukum Kritis ( Critical Legal Studies , CLS)   Akhir abad ke-20, Studi Hukum Kritis atau Critical Legal Studies , CLS datang dengan melawan gagasan liberalisme dan pluralisme hukum. Dalam Frontiers Legal Theory menyebutkan perkembangan Critical and Postmodern Legal Studies muncul sekitar 1970-an di Amerika dengan tokoh (sarjanawan) yang terinspirasi gerakan pemikiran kontinental ( continental social theory ) seperti Marxist, Structuralist, dan Post-structuralis yang kemudian membentuk gerakan yang disebut Gerakan Studi Hukum Kritis_ ( Critical Legal Studies , CLS). Keberadaan CLS diasumsikan terpengaruh Teori Kritis ( Critical Theory ) dari Mahzab Frankfurt yang dipelopori oleh Institute for Social Research di Frankfurt University. Mahzab Frankfurt membawa terminologi ‘teori kritis’ dengan haluan ajaran Karl Marx (Marxism)._ Melalui karya Mahzab Frankfurt dari 1930 sampai 1940-an hing...

SOMASI untuk Korban dalam Hukum Pidana

Apa itu Somasi? Menurut KBBI, Somasi adalah teguran untuk membayar dan sebagainya ( https://kbbi.web.id/somasi ). Menurut Wikipedia, Somasi adalah sebuah teguran terhadap pihak calon tergugat pada proses hukum. Bentuk –bentuk somasi dapat berupa surat perintah, akta sejenisnya, dan demi perikatan sendirinya (lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Somasi ). Jika merujuk pada bahan Wikipedia, maka kerangka tafsir Somasi merujuk pada kerangka keperdataan (lihat rujukannya). Pada sisi yang lain, terdapat poin penting, yaitu; 1. sebuah teguran                                             2. diberikan kepada pihak lain Menurut J. Satrio, Topik somasi mestinya menarik untuk disimak, sebab sekalipun somasi memegang peranan yang sangat besar (penting) dalam pelaksanaan huku...