Novel ?
Novel adalah karangan prosa panjang yang
mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang yang berada di
sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku dalam kisah yang
diceritakan. Novel terdiri dari bab dan sub-bab tertentu sesuai dengan kisah
ceritanya. Penulis novel disebut Novelis.
Dalam hukum acara pidana, akademisi maupun praktisi tidak akan mengenal kata “novel”
sebagai pengertian tersebut, tetapi “novel” sebagai nama orang.
Novel sebagai nama orang menjadi
perbincangan media dan orang secara umum. Ialah yang bernama Novel Baswedan. Novel
menjadi korban pada 11 April 2017 dalam kasus Penyiraman menggunakan air keras setelah
menjalankan ibadah sholat subuh. Apakah Novel yang juga bekerja sebagai
penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 2007 dan menjadi penyidik
tetap KPK sejak 2014 memiliki hubungan dengan pelaku? Ini adalah Bab Pertama
dari Novel ini.
Novel Baswedan hanyalah Novel ?
Kasus Penyiraman terhadap Novel
menggemparkan dunia nyata dan dunia maya, baik saat Penyiraman 11 April 2017 hingga
penangkapan pelaku 27 Desember 2019. Dari peristiwa hingga penangkapan
membutuhkan 32 bulan lebih atau sekitar 2 tahun 8 bulan. Ini adalah Bab Kedua
dari Novel ini.
Kehebohan dunia hukum kembali terjadi
akibat tuntutan jaksa bernama FEDRIK ADHAR, SH. terhadap RONNY BUGIS dengan
perkara no. 371/Pid.B/2020/PN Jkt.Utr dan RAHMAT KADIR MAHULETTE dengan perkara
no. 372/Pid.B/2020/PN Jkt.Utr. Dalam penuntutan, Jaksa menyatakan para terdakwa
telah terbukti bersalah dengan Pasal 353 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1)
ke-1 KUHP dalam Dakwaan SUBSIDIAIR. Kedua terdakwa, dituntut dengan hukuman 1 tahun
penjara.
Jika penuntutan jaksa, yaitu
penjara selama 1 tahun dikabulkan oleh majelis hakim, maka 1 tahun itu akan
dikurangi 96 hari atau sekurang-kurangnya 3 bulan menjadi tinggal 9 bulan. Jika
para terdakwa berperilaku “baik” dan telah menjalani penjara selama ½ dari 1
tahun itu atau sekurang-kurangnya selama 6 bulan, maka akan mendapatkan
asimilasi atau pembebasan. Bagaimana jika tidak demikian? Melainkan hukuman
hanya 8 bulan penjara? Ini adalah Bab Ketiga dari Novel ini.
Rekam Jejak sang Jaksa
Berdasarkan penelusuran http://sipp.pn-jakartautara.go.id
(per 17 Oktober 2019 – 11 Juni 2020), FEDRIK ADHAR, SH. sebagai Jaksa telah
menangani beberapa perkara antara lain: Narkotika sebanyak 42 kasus, Pengelapan
2 kasus, Kejahatan Perjudian 7 kasus, Penggeroyokan 1 kasus, Penipuan, 1 kasus,
Ketenagalistrikan 1 kasus, Pornografi 1 kasus, KDRT 1 kasus, Penganiayaan 2
kasus. Kasus yag terakhir, yakni Penganiayaan telah melewati proses tuntutan
dan yang terkait dengan korban Novel.
Instansi Kejaksaan Negeri Jakarta
Utara sendiri telah menangani sebanyak 20 kasus Penganiayaan (per 17 Oktober
2019 – 11 Juni 2020) dengan komposisi Irfano 1 kasus, Dana Mahendra 1 kasus,
Temmy 1 kasus, Melda 2 kasus, Hendrinawati 1 kasus, Nofimar 1 kasus, Rachman
Rajasa 1 kasus, Abdullah 2 kasus, Doni Boy 1 kasus, Mirna 2 kasus, Yonart 2 kasus,
Zainal Dwi 1 kasus, Erma 1 kasus, Teddy 1 kasus dan Fedrik Adhar 2 kasus. Dari 20
kasus tersebut, Jaksa bernama Fedrik Adhar yang menggunakan Pasal 353 ayat (2)
dengan tuntutan penjara 1 tahun, sedangkan 18 lainnya menggunakan Pasal 351
ayat (1) dengan tuntutan penjara bermacam-macam, mulai dari 8 bulan hingga 1 tahun
6.
Sekedar informasi, Pasal 353 ayat (2) adalah Penganiayaan yang
dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu dengan akibat luka berat. Sedangkan
Pasal 351 ayat (1) adalah Penganiayaan biasa. Jadi, Pasal 352 ayat (2) adalah
uraian Pasal 351 ayat (1) ditambah “perencanaan” ditambah akibat luka berat. Sehingga
mengapa tuntutan Jaksa lebih rendah? Ini adalah Bab Ketiga dari Novel ini.
Jika dilakukan penelusuran lebih
dalam lagi pada http://sipp.pn-jakartautara.go.id,
maka dapat ditemukan logika praktik hukum Kejaksaan Negeri Jakarta Utara dan
fenomena yang luar biasa terkait kasus Penyiraman ini ataukah mungkin ini
karena efek COVID-19?
Novel kini dan nanti
Menurut Novel, setiap proses penyidikan
hingga penuntutan, semakin menyakinkan bahwa ada ketidakberesan, ada
kejanggalan. Sejak awal proses, mengenai dasar (latar belakang dan pembuktian) penetapan
tersangka, saat pelimpahan di jaksa juga demikian, saat pemberian keterangan
ada Pasal 170 yang tidak tepat, masukan/saran Pasal 340 jo. 53 sebagai Primair
dan Pasal 355 ayat (2) jo. Pasal 356 sebagai subsidair, fakta gagal nafas yang
tidak terurai, saksi kunci yang tidak sepenuhnya diperiksa, mengenai fakta air
keras dan bukan air aki, serta hal-hal lainnya yang tidak diakomodir oleh
Jaksa. Padahal korban tidak bisa mewakili dirinya sendiri tetapi hanya melalui
Jaksa.
Pada sisi lain, serangan ini (penyiraman
air keras) bukan hanya pada diri Novel, tetapi dilakukan karena tugas memberantas
korupsi. Serangan ini dapat berdampak luas, baik pegawai KPK maupun orang lain
yang akan berjuang memberantas korupsi. Hal ini tidak boleh dibiarkan, hal ini
sungguh serius.
Menurut Novel, tuntutan 1 tahun
penjara oleh Jaksa, begitu aneh dan penuh kejanggalan. Penganiayaan yang
terjadi adalah penganiayaan dengan level tertinggi, karena direncanakan,
menggunakan “air keras”, akibatnya luka berat dan dengan pemberatan. Perbuatan
dengan level dan maksimal seperti ini di tuntut 1 tahun. Bahkan, terlihat Jaksa
bertindak seperti Pengacara atau Pembela terdakwa. Inilah hal yang harus di
protes, harus di kritis dan harus di sikapi karena norma-norma keadilan, serta
penegakan hukum yang terabaikan. Padahal faktor penegakan hukum sangatlah
penting demi kemajuan negara.
Selanjutnya, kita patut menunggu,
apakah Kejaksaan akan mengajukan Banding menggunakan “novum” ataukah Novel
melakukan langkah hukum lain? Mari kita menunggu sebelum Novel menjadi Novel
belaka.
Kasus Novel: Pertarungan dan Pertaruhan!
Terdapat Pertarungan antara
kepentingan “oknum” dalam institusi, baik kepolisian dan kejaksaan dengan KPK
layaknya cicak vs buaya waktu dahulu kala. Kedua, pertarungan antara kepentingan
politisi maupun pejabat mega proyek. Ketiga, pertarungan antara Penerapan Hukum
dan Hukum sebagaimana seharusnya. Beberapa pertarungan ini meniscayakan
terjadinya pertaruhan pada sistem peradilan pidana, pertaruhan posisi korban
dan pada khususnya pertaruhan ilmu pengetahuan hukum pidana. Masih layakkah
kita mempelajari ilmu hukum di bangku kuliah atau sudah tidak perlu karena
ketidakpastian, ketidakjelasan dan segala carut-marutnya?
Sekian.
Komentar
Posting Komentar